Pagi-pagi enaknya makan bakery, sambil minum kopi, apalagi
diselingi gosip tentang Bakrie, ini cerita
lama tapi tetap dinanti.
Ingat PT Kaltim Prima Coal (KPC)? ini adalah
perusahaan pengeruk batubara terbesar di Asia yang beroperasi di Sengata
Kabupaten Kutai Timur. Banyak sekali skandal menerpa KPC termasuk skandal
pajak, skandal pembelian oleh Bakrie dan skandal divestasi sahamnya. Saya
membatasi pada dugaan korupsi di proses divestasi 51 persen saham, juga
transfer pricing alias manipulasi harga penjualan.
KPC awalnya dioperasionalkan oleh kongsi dua raksasa
tambang internasional, British Petroleum dan Rio Tinto. Tahun 1982, dokumen
perjanjian diteken. Pemerintah pusat dan PT KPC memulai sejarah dimulainya
pertambangan terbesar di Asia, yaitu ada di Sengata. Meskipun PT KPC sudah
punya izin tahun 1982, PT KPC baru resmi dinyatakan eksploitasi pada 1992 atau
sepuluh tahun kemudian. Di dalam perjanjian kontrak karya dengan Pemerintah ada
soal divestasi saham yang wajib dilakukan setelah 4 tahun perusahaan menambang.
Jadi menurut perjanjian, pada tahun 1996 PT KPC wajib menjual sahamnya secara
bertahap kepada pemerintah Indonesia atau pihak Indonesia.
Sayangnya dokumen itu hanyalah sebuah kertas tak
berharga. manajemen PT KPC dengan mudah mengabaikannya. pemerintah pun seperti
tidak peduli. Perundingan divestasi baru diadakan setelah pemerintah daerah
Kaltim mencium ada peluang orang Indonesia membeli saham perusahaan PT KPC. Manajemen
PT KPC selalu berkelit dengan berbagai alasan. tahun 1998 PT KPC baru mau
menawarkan untuk melepas 23 persen sahamnya. lagi-lagi pemerintah pusat melempem,
menyatakan tidak berminat. Peluang ini kemudian disambut pemerintah daerah
Kaltim.
Ketika pemda Kaltim masih sibuk memberikan penawaran,
tiba2 ada berita pada tahun 2003 bahwa PT Bumi Resources (BUMI) sudah
membelinya. Anda tentu mengerti dan mengetahui siapa dibalik PT Bumi Resources
ini.
Harganya pun murah, krn hanya 500 Juta dolar AS. jauh
dari penawaran 51 persen saham kepada pemerintah provinsi segarga 822 Juta
Dolar AS. Dua raksasa pemilik KPC, British Petroleum dan Rio Tinto memilih
hengkang dari manajemen KPC dan menyerahkan kepada Bumi Resources. Kegagalan
pemprov Kaltim juga ditengarai karena terjadi ketidakkompakkan antara Pemprov
Kaltim dengan Pemkab Kutai Timur. Diam-diam, Bupati Kutim yang waktu itu
dijabat Mahyudin menerima tawaran membeli saham dari Bumi Resources sebesar 18
persen. Pemprov menggugat, tapi sudah ada upaya untuk berdamai dengan
kompensasi dan Bumi Resources memberikan Rp285 Miliar kepada Pemprov Kaltim. Sampai
akhir 2011 belum ada tanda-tanda KPC membayar dana kompensasi Rp285 miliar
kepada Pemprov Kaltim sehingga banyak pihak merasa geram.
Divestasi itu ada dalam risalah rapat yang dihadiri
Presiden Megawati Soekaronputri dan sejumlah menteri. ada juga SBY selaku Menko
Polkam. Rapat memutuskan pembagian alokasi penjualan 51 persen saham, yaitu 20
persen untuk pemerintah pusat melalui PTBA (Bukit Asam), 31 persen dibagi
Pemprov Kaltim melalui Perusda Melati Bhakty Setia 12,4 persen dan Pemkab Kutim
melalui Perusda Pertambangan 18,6 persen. Tapi
realisasinya tidak begitu. Ditemukan data ada seorang Dirjen di Kementerian
ESDM yang membuat surat bahwa pemerintah tidak membeli saham. Janggal bila
seorang Dirjen yang membuat surat mewakili pemerintah pusat untuk membeli saham
atau tidak harusnya oleh Menteri Keuangan. Surat sang Dirjen yang menyatakan
pemerintah tidak membeli saham KPC terjadi pada pemerintahan Presiden SBY,
muncul keraguan. Apa benar Presiden SBY tidak tahu ulah Dirjen ini. Padahal
beliau sudah tahu masalahnya sejak zaman Presiden Megawati terbukti ikut rapat.
Ditengah ramai kasus divestasi saham KPC
oleh Bakrie ini tiba2 mulai muncul kasus transfer pricing. Laporan beberapa
pihak menyebutkan, batubara produksi KPC untuk penjualan luar negeri dibeli
oleh perusahaan yang terafiliasi dengan KPC. KPC menjual batubara kepada
perusahaan grup sendiri dengan harga lebih murah dari harga pasar yang berlaku.
Harga murah ini yang dijadikan dasar pembayaran pajak di Indonesia. Padahal,
pembeli menjual dg harga lebih tinggi kepada pembeli lainnya
Diantara pembeli itu ada nama: Glencore
International AG, Electric Power Developmen Company, Korea south-East Power co,
Ltd, Kobe IIP, Chubu Electric Power CO Inc, Nippon steel Corporate, AEP Energy
Service Pty Ltd, EDF Trading Ltd, Tohoku Electric Power, Taiwan Power Company,
Korea East-West Power Company Limited, Castle Peak Power Company Ltd, AES
(Applied Energy), Quezon Power (Philipines), TNB Fuel Services Sdn Bhd,
Hokuriku Electric Power, Enel Trade Spa, National Power Co, National Coal
supply Corporation Ltd, Kobe Steel Ltd, The Hongkong Electric co Ltd,
Electroandina, Chile, Nippon Steel Corporate, Ahmedabad Electric Co, Scorttish
and Southern Energy Suppy Ltd, Tohoku Electric Power Company Inc, Chukogu
Electric Power co Inc, Korea South-East Power Company Ltd, Joban Joint Power,
Toyota Tsusho Co.
Sayangnya Ditjen Pajak tidak serius
menangani kasus-kasus transfer pricing. infonya pegawai pajak yg menangani
transfer pricing hanya 12. Praktek transfer pricing merupakan penggelapan pajak
dengan tingkat kerumitan yang tinggi, dibutuhkan tenaga ahli untuk menguak
praktek ini.
Tunggakan pajak yang dilakukan
perusahaan-perusahaan Bakrie yang nilainya mencapai Rp2,1 Triliun diungkapkan
oleh Sri Mulyani. Dengan rincian kekurangan pajak dari KPC sebesar Rp1,5
triliun, BUMI Rp376 miliar, dan Arutmin US$30,9juta. Tapi ternyata ada data
lain. Data lain menyebut sampai per akhir November 2009, KPC telah membayar
utang pajak sebesar Rp800 miliar dan Arutmin sebesar US$27,5 juta.
Pendapatan BUMI (Bumi Resources) yang
menjadi perusahanan andalan Bakrie (PT KPC dan PT Arutmin) tahun 2004 sebesar
Rp 9,811 triliun. Tahun 2008, pendapatan BUMI mendekati US$ 4 miliar atau
hampir Rp 40 triliun. laba bersih BUMI tahun 2004 sebesar Rp 1,21 triliun. Tahun
2008, laba bersih BUMI meningkat drastis menjadi US$ 654 juta atau sekitar Rp
6,5 triliun. Anehnya dengan pendapatan sebegitu besar, janji KPC untuk
memberikan Rp285 Miliar kepada Kaltim melalui APBD sepertinya menguap begitu
saja.
BPK juga telah turun tangan dengan laporan
pemeriksaan (LHP) dari BPK Nomor : 18.A/LHP/XIX.SMD/V/2009 Tahun Anggaran 2008,
25 Mei 2009 lalu. BPK menyebutkan Pemprov Kaltim dan PT Bumi Resources
menandatangi naskah persetujuan penyelesaian permasalahan divestasi PT KPC
secara damai. Pemprov Kaltim setuju mencabut gugatan divestasi saham PT KPC,
pada lembaga arbitrase termasuk yang melalui badan peradilan di Indonesia. Disebutkan
juga PT Bumi Resources Tbk akan memberikan kompensasi kepada Pemprov Kaltim sebesar
Rp 230 miliar untuk APBD dan dana partisipasi tambahan modal awal Yayasan
Pembangunan SDM Kaltim sebesar Rp 50 miliar, dan KPC berjanji aka
mengalokasikan dana pengembangan masyarakat atau community development (comdev)
Rp 5 miliar per tahun.
PT Bumi Resources Tbk yang membawahi PT KPC
pernah memberikan jawaban mengapa mereka tidak juga membayarkan konpensasi itu.
Pada surat perusahaan tanggal 19 Mei 2009 PT, alasannya karena perkara antara
Pemprov Kaltim melawan PT KPC, Sangatta Holdings Ltd, Kalimantan Coal Ltd, BP
Plc, Rio Tinto Plc, Pacific Resources Invesment Ltd dan BP International Ltd di
forum Arbitrase ICSID msh berlanjut. Kemudian Bumi Resources (BUMI) juga
memunculkan surat Awang Faroek Ishak yang diduga palsu, sbg alasan tak membayar
konpensasi Rp230 Miliar. Tapi waktu itu Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak
membantah membuat surat kepada Sekjen ICSID. Alasan Awang Faroek selama menjadi
gubernur tidak pernah membuat surat dg membubuhkan namanya secara lengkap
beserta titel akademiknya.
Berawal dari ditemukannya dua surat
konfirmasi permohonan kelanjutan arbitrase Pemprov yang ditujukan kepada Sekjen
ICSID. Surat yang pertama, Awang Faroek bertandatangan atas nama Bupati Kutim
tanggal 14 November 2008 nomor surat 180/198/HK/2008. Kedua atas nama Gub.
Kaltim tanggal 9 Jan 2009 nomor surat 545/10987/EK/2009 tentang konfirmasi
permohonan perkara arbitrase No.ARB/07/03. Antara surat pertama dan kedua
isinya sama, yang membedakan hanya kop surat dan tanggal serta tahun penerbitan
surat.
Kalimantan Timur dengan ikon Jamrud
Katulistiwa memang surga bagi sebagian orang. mereka mendapatkan harta dari
perut bumi Kalimantan Timur. Antara lain Eka Tjipta Wijaya, Anthony Salim,
Aburizal Bakrie, Kiky Barki, Murdaya-Poo, Arifin Panigoro, Syamsul Nursalim,
Prayogo Pangestu. Para konglomerat ini hidup mewah lantaran potensi tambang,
kayu hingga minyak dan gas yang ada di perut Bumi Etam Kalimantan Timur. Eka
Tjipta Wijaya dan Anthony Salim dari berkebun sawit, Aburizal Bakrie, Kiky
Barki, Syamsul Nursalim dengan mengeruk batubara. Murdaya Poo dan Prayogo
Pangestu membabat hutan Kaltim, sedangkan Arifin Panigoro dan John S Watson
menyedot minyak bumi. Aktifitas mereka di Kalimantan Timur meninggalkan
sejumlah konflik horizontal. divestasi saham PT KPC meninggalkan luka dan aroma
keserakahan.
PT BBE (Bukit Baiduri Entreprise) meninggalkan
perseteruan antar masyarakat lokal. Perusahaan minyak tak mampu mengangkat
kehidupan layak warga sekitar tambang. kegiatan logging menyisakan kesengsaraan
karena rusaknya hutan. Kaltim lebih mirip toilet, karena industri tambang,
sawit dan HPH hanya mampir mengeruk SDA, meninggalkan lubang, penggundulan
hutan. 80 persen batubara diekspor ke LN dan hanya 5 persen yang digunakan
kebutuhan Kalimantan, daerah kaya sumber energi, tapi listrik kekurangan. Ketika
pemegang saham KPC yang lama, Rio Tinto dan BP menjualnya dengan harga super
murah, BUMI waktu itu diibaratkan katak memakan gajah. Kekayaan Aburizal Bakrie
sebagai salah seorang pemegang saham BUMI langsung terdongkrak naik dari
keterpurukan akibat krisi 1998.
Eksploitasi batubara di bumi Sangatta
Kutai Timur Kaltim tercatat terbesar di dunia. bahkan kini eksploitasinya
mencapai 70 juta MT setahun. Selain itu ada masalah terkait reklamasi pasca
tambang KPC yg belum sepenuhnya dilaksanakan. Beberapa bekas tambang masih
dibiarkan terbuka. Sekian tentang carut marut divestasi saham Kaltim Prima Coal
milik ARB, semoga bermanfaat.
No comments:
Post a Comment